Catatan: Usman Cut Raja
newsataloen.com - Provinsi Aceh dikenal sebagai daerah produsen minyak dan gas alam terbesar di dunia. Sebelum itu, provinsi ini telah memanfaatkan energi bumi sejak masa Kesultanan Aceh pada abad ke-16 dan 17. Sumber daya alam di dalam perut bumi Aceh digunakan sebagai obor penerang dan digunakan untuk membakar kapal-kapal Portugis saat terjadi peperangan di Selat Malaka.
Selain itu, minyak yang naik ke permukaan dan membanjiri rawa-rawa telah digunakan sebagai obat gosok dan mulai diperdagangkan ke luar negeri. Sejak jauh sebelum Indonesia Merdeka, Aceh telah terlibat dalam perdagangan minyak bumi di pasar internasional.
Pada tanggal 15 Juni 1885, A.J. Zijker berhasil menggali sumur minyak bernama Telaga Tunggal 1 atau Telaga Said. Sumur tersebut terletak sekitar 12,5 kilometer di sebelah Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara. Penggalian sumur minyak Telaga Said ini menjadi awal dari sejarah industri minyak di Indonesia. Sumur minyak tersebut dikelola oleh perusahaan NV Koninklijke Nederlandsch Petroleum Mij.
Perusahaan tersebut kemudian membentuk sebuah perusahaan minyak dalam kemitraan dengan Shell, yang dikenal sebagai Bataafsche Petroleum Mij (BPM). Pada tahun 1892, mereka membangun kilang minyak dengan kapasitas 2,4 ribu barel per hari di Pangkalan Brandan.
Sembilan tahun setelah itu, perusahaan Holland Perlak Mij, NV. Petroleum Mij Zaid Perlak, melakukan eksplorasi di Rantau Panyang, Landeshap Perlak, Aceh Timur. Mereka menemukan minyak sejak tahun 1900 dan mengalirkannya melalui pipa sepanjang 130 kilometer ke kilang BPM di Pangkalan Brandan untuk penyulingan.
Kemudian, minyak tersebut dialirkan ke pelabuhan Pangkalan Susu untuk diekspor ke luar negeri. Dengan demikian, kegiatan industri minyak di Aceh sudah mulai beroperasi secara komersial. Pada bulan Agustus 1901, produksi minyak di Rantau Panyang mencapai 240.250 liter, dan pada tahun 1909, jumlahnya meningkat menjadi 68.807 ton.
Akibat peningkatan produksi minyak tersebut, perusahaan-perusahaan lain mulai berebut untuk menggali ladang minyak di Aceh. Ladang-ladang minyak ini tidak hanya terletak di Landsehap Perlak, tetapi juga mulai meluas ke daerah-daerah lain seperti Idi, Langsa, dan Tamiang.
Pada tahun 1932-1934, terdapat empat perusahaan yang melakukan eksplorasi di wilayah Langsa dan Idi, dengan luas area eksplorasi mencapai 50.000 hektar. Area-area tersebut termasuk Landeshap Serbajadi, Sungo Raya, Peudawa Rayeuk, Julok Rayek, dan Idi Rayeuk. Di wilayah Tamiang, eksplorasi pertama dilakukan di Rantau, Landeshap Keujureun Muda, pada bulan Februari 1929.
Minyak yang dihasilkan dialirkan melalui pipa sepanjang 63 kilometer ke Pangkalan Brandan. Perluasan eksplorasi ini memiliki dampak signifikan terhadap volume produksi perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Mij (BPM) di kilang Pangkalan Brandan serta ekspor minyak mentah.
Menurut catatan, produksi kilang di Pangkalan Brandan mencapai 1 juta ton per tahun menjelang Perang Dunia II. Pada tahun 1938, volume ekspor minyak dari Aceh mencapai 705.650 m3. Pada tahun 1943, Pemerintah Militer Jepang membangun sebuah kilang penyulingan minyak di Desa Paya Bujok, Kota Langsa, dengan kapasitas produksi 40 ton per hari.
MenadiIni merupakan kilang penyulingan pertama yang dioperasikan di wilayah Aceh, dan tujuannya adalah untuk keperluan militer Jepang. Namun, setelah Jepang mulai mengalami kekalahan dalam perang dan banyak personel militer Jepang meninggalkan Aceh, sumur-sumur minyak yang terletak di Aceh Timur menjadi terbengkalai.
Dalam situasi tersebut, para pekerja minyak di Aceh Timur membentuk organisasi bernama Tambang Minyak Republik Indonesia (TMRI) yang berpusat di Langsa pada tanggal 1 Januari 1946. Perusahaan ini mulai memproduksi bensin dan minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan konsumen di wilayah Aceh dan beberapa daerah lainnya.
Sementara itu, kilang minyak Pangkalan Brandan diserahkan oleh Jepang atas nama sekutu kepada Residen A. Karim MS, yang mewakili Gubernur Sumatera pada bulan Juli 1946. Pada tanggal 13 Agustus 1947, kilang minyak Pangkalan Brandan dihancurkan dalam serangan yang dilakukan oleh Belanda selama dua minggu setelah Agresi Militer I.
Akibatnya, sebagian pekerja minyak terpaksa pindah ke Kota Langsa, karena eksplorasi dan produksi minyak yang efektif hanya berlangsung di wilayah seperti Aceh Timur, Rantau Tamiang, Lapangan Rantau Panyang, Peureulak, dan Julok Rayeuk di Aceh Timur.
Pada tanggal 24 Oktober 1971, sebuah perusahaan minyak asal Amerika Serikat mulai melakukan eksplorasi di Desa Arun, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Awalnya, perusahaan tersebut mencari potensi minyak bumi, namun selama proses pengeboran ternyata ditemukan sumber gas alam yang keluar dari perut bumi.
Lokasi pengeboran tersebut terletak sekitar 30 kilometer di tenggara Kota Lhokseumawe, dan deposit gas alam tersebut berada di kawasan hamparan sawah yang subur. Jumlah deposit gas alam ini mencapai 17,1 triliun kaki kubik, yang membuatnya layak untuk dikembangkan selama beberapa dekade.
Pada saat itu, pimpinan eksplorasi dan produksi perusahaan Mobil Oil, Alex Massad, telah menyediakan dana sebesar 400.000 Dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp. 5,959,357,321 jika dikonversikan dengan mata uang rupiah pada saat ini, untuk mengeksplorasi sumur gas yang ditemukan tersebut.
Selanjutnya, Pertamina bekerja sama dengan Mobil Oil dan Japan Indonesia LNG Company (JILCO) membentuk perusahaan patungan yang awalnya dikenal sebagai PT ARUN NGL Co. Saat ini, perusahaan tersebut telah berganti nama menjadi PT Perta Arun Gas. Pada tanggal 19 September 1978, Presiden Soeharto meresmikan perusahaan PT Perta Arun Gas yang berlokasi di Desa Blang Lancang, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe.
Sebelumnya, pada tanggal 3 Desember 1973, telah dilakukan penandatanganan kontrak penjualan LNG (Liquid Natural Gas) dengan sejumlah perusahaan industri di Jepang, dengan jangka waktu kontrak selama 20 tahun. Selanjutnya, perusahaan tersebut juga menandatangani kontrak dengan perusahaan Korea Selatan, melalui perusahaan Electric Power Corp.
Kontrak tersebut mencakup pengiriman LNG sebanyak 2 juta ton per tahun, mulai dari tahun 1981 hingga 2006. Dalam rangka kontrak LNG tersebut, di kawasan Blang Lancang, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, untuk tahap pertama dibangun tiga train kilang pencairan gas.
Pembangunan kilang ini dilakukan oleh perusahaan Bachtel Inc, mulai dari tahun 1974 hingga tahun 1978. Kilang gas ini memiliki luas 271 hektar, dengan panjang 1,7 kilometer dan lebar 1,5 kilometer. Kilang ini dilengkapi dengan pelabuhan khusus untuk mengangkut produksinya.
Kilang LNG Arun memiliki 2 pelabuhan LNG untuk pengiriman produk LNG ke negara pembeli, sementara untuk pengiriman kondensat, dilengkapi dengan 2 fasilitas pemuatan, yaitu Single Point Mooring (SPM) dan Multi Buoy Mooring (MBM).
Salah satu keunikan yang dimiliki oleh Arun pada saat itu adalah penggunaan sistem gas turbin sebagai tenaga penggerak, bukan tenaga air seperti yang umumnya digunakan di negara lain. Sistem gas turbin ini mampu menghasilkan tenaga sebesar 30.000 HP dan dapat menggerakkan kompresor pendingin.
Selain itu, Arun juga memiliki keistimewaan dalam pengembangan produknya sesuai dengan isi kontrak. Menurut kontrak LNG yang dijual, LNG Arun memiliki kalori antara 1.070 hingga 1.170 BTU/SCF (British Thermal Unit per Standar Kaki Kubik). Pada awal mulai produksi hingga 6 train LNG yang dihasilkan oleh PT Arun, LNG tersebut memiliki kalori antara 1.163 hingga 1.165 BTU/SCF.
Hal ini menunjukkan kualitas dan kesesuaian produk dengan standar kontrak yang ditetapkan. Teknologi yang digunakan oleh PT Arun adalah teknologi bertemperatur rendah, mengingat LNG (Liquid Natural Gas) berbentuk cairan dengan suhu yang sangat rendah, mencapai minus 160 derajat Celsius.
Hal ini membutuhkan perlakuan khusus dalam pengolahan dan penanganan LNG. Selain itu, sumur gas Arun juga memiliki geotermal gradien yang sangat tinggi, menjadikannya sebagai salah satu sumur terpanas di dunia.
Hal ini memberikan keunikan tersendiri dalam pengelolaan dan ekstraksi gas di wilayah tersebut. Pengapalan perdana kondensat yang dihasilkan dari sumur gas Arun ke Jepang dimulai pada tahun 1977, diikuti oleh pengapalan LNG pada tahun 1978, dan pengapalan LPG pada tahun 1988. Ini menandai awal dari ekspor produk-produk gas tersebut ke negara tujuan, khususnya Jepang.
Provinsi Aceh memiliki peran yang signifikan sebagai pemasok energi bagi beberapa negara dan memiliki lokasi yang strategis. Selain itu, Aceh juga merupakan salah satu kontributor terbesar dalam hal pendapatan devisa negara. Hingga tahun 1977, PT Arun telah berhasil mengekspor sejumlah besar produk energi, termasuk 663,12 juta barel (BBLS) kondensat, 1.904 ton LPG, dan 378,27 juta meter kubik (m3) LNG.
Melalui produk-produk seperti LNG, LPG, dan kondensat, Aceh menjadi penyumbang devisa negara yang signifikan, selain dari minyak tanah. Dengan demikian, produksi dan ekspor energi dari Aceh telah berperan penting dalam meningkatkan pemasukan devisa negara dan memperkuat ekonomi wilayah tersebut. Pada tanggal 2 Agustus 1988, PT Arun berhasil melakukan pengiriman perdana LPG ke Jepang.
Selanjutnya, hingga tanggal 1 Juli 1997, PT Arun telah melakukan pengapalan sebanyak 2.938 kali LNG dan 329 kali LPG ke negara-negara seperti Jepang, Korea, dan Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan kontribusi yang signifikan dari PT Arun dalam memasok LNG dan LPG ke pasar internasional, serta memperluas jangkauan ekspornya ke beberapa negara.
Dalam menghadapi melimpahnya pasokan gas di Aceh Utara, beberapa perusahaan besar seperti PT Pupuk Iskandar Muda, PT Asean Aceh Fertilizer (AAF), dan PT Kertas Kraft Aceh (KKA) didirikan di wilayah tersebut. Namun, sayangnya, beberapa perusahaan tersebut sekarang telah berhenti beroperasi karena terhambat oleh ketersediaan pasokan gas yang diperlukan untuk kegiatan produksi mereka.
Meskipun secara geografis, lokasi perusahaan-perusahaan ini berdekatan dengan ladang gas, namun adanya kendala pasokan gas telah menjadi faktor yang menghentikan operasional mereka. Benar, Aceh tidak lagi menjadi salah satu provinsi penghasil minyak dan gas terbesar di Indonesia.
Sumber daya alam minyak dan gas di Aceh telah mengalami penipisan seiring berjalannya waktu. Benar, perkembangan di sektor minyak dan gas alam di Aceh telah mengalami perubahan. Sumber daya alam minyak dan gas di provinsi ini telah mengalami penipisan.Penting untuk diingat bahwa sumber daya alam bersifat terbatas dan dapat habis jika tidak dikelola dengan baik. (Penulis adalah wartawan senior tinggal di Aceh Utara)
Post a Comment