#MENGENANG PERKEMBANAN INDUSTRI DI ACEH




Catatan: Usman Cut Raja

Setiap pergantian situasi, kondisi atau pemimpin banyak yang mengikrarkan akan merobah Aceh menjadi lebih maju, sejahtera dan bermartabat. Termasuk Aceh baru yang pernah dikumandangkan para pengambil keputusan dan politisi di Aceh setelah rekonstruksi Aceh pasca gempa bumi / tsunami dan perjanjian damai yaitu dibukanya kran investasi.

Berbagai perusahaan besar baik domestik maupun internasional ketika itu dijadwalkan akan melakukan transaksi perdagangan menyambut Aceh Baru. Directory investasi secara besar besaran melalui perdagangan internasional dan industri yang dikumandangkan itu hingga banyak orang membayangkan, Aceh akan setara dengan Singapura atau Hongkong.

Namun apa yang terlihat hingga sudah lebih 20 tahun setelah rekonstruksi Aceh selain rakyat tambah menjerit karena didera kemiskinan juga pengangguran tambah meningkat .”Siapa sih mau berbisnis di Aceh, bila Aceh terus mencekam, dulu konflik sekarang meminta minta”ucapnya.

Masih terngiang dalam ingatan kita, sejumlah perusahaan raksasa setelah ikrar Aceh baru dikumandangkan berlomba mau masuk ke Aceh, Metro Kijang Groups Kuala Lumpur, Malaysia yang rencananya mau melakukan invest dengan lokasi Aceh Utara yaitu Perkebunan Kelapa Sawit, Perhotelan, Pengalengan Ikan, dan Bandara Malikussaleh.

Lebih mengagetkan lagi yaitu, Aceh Plantation Development Authority (APDA), pusahaan milik Pemerintah Aceh yang akan mengelola perkebunan sawit seluas 145.000 ha di 13 Kabupaten, Aceh Tenggara, Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Jaya, Pidie dan Aceh Besar dan membangun 13 pabrik CPO (Crude Palm Oil) dengan total investasi $ 568 juta.

Disebutkan, APDA dalam menggarap proyek tersebut akan menggunakan jasa konsultan Technical Committee YaPEIM (TCY), sedangkan struktur dana akan menggunakan pinjaman dari Islamic Development Bank (IDB). Pembangunan Koperasi Pabrik Garmen Aceh (KPGA) lokasi di Cot Gapu Bireuen, KPGA akan membuka pabrik pakaian, pemilik KPGA adalah Till Freyer warga negara Jerman yang pernah menetap di Indonesia.

Selain itu sebuah perusahaan dari Perancis yaitu Agence Francaise de Development (AFD), untuk proyek infrastruktur perhubungan, lima pelabuhan, tiga bandara dan jasa kereta api dengan nilai total investasi Rp 2,8 Trilliun. Dublin Port – Irlandia, Perusahaan Pelabuhan Milik Pemerintah Irlandia yang akan mengembangkan Kawasan pelabuhan Sabang, dengan nilai investasi Rp 40 triliun selama 15 tahun.

Prihatin, semua perusahaan itu hingga kini tidak lagi terdengar gerakannya, apa masih akan melanjutkan atau sudah mundur. Namun diantara proyek proyek tersebut hanya Lafarge Cement Indonesia yang berjalan. Lafarge merupakan cartel bisnis cement dibanyak negara. Lafarge Cement Indonesia mengambil alih kepemilikan oleh PT SAI yang berlokasi di Lhoknga Kabupaten Aceh Besar dengan target produksi 1,6 juta ton semen per tahun.

Inilah potret investasi Aceh setelah Zona Industri Lhokseumawwe (ZIL) berakhir hingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Aceh jalan ditempat. Padahal, Aceh memiliki sumber daya alam melimpah dan letak geografis yang strategis. “Semua kelebihan itu belum mampu dimanfaatkan. Investasi yang diharapkan tumbuh, faktanya masih berjalan ditempat,” kata Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat membuka Forum Bisnis di Banda Aceh saat itu.

“Dengan posisi geografis ini seharusnya sangat potensial menjadikan Aceh sebagai gerbang bagi aktivitas ekonomi di wilayah barat Indonesia,” ujar Zaini seraya menambahkan, ada beberapa kelemahan dalam membangun iklim investasi di daerah ini, antara lain masih tingginya praktek korupsi, persoalan keamanan yang masih meragukan kalangan dunia usaha, infrastruktur yang masih kurang lengkap, serta soal keraguan atas kepastian hukum bagi iklim investasi.

Sementara itu, sebuah analisis sosiologis menyebutkan, suatu kaum akan jaya jika mampu mengubah tiga karakter yang selama ini banyak merasuk ureueng Aceh. Yaitu, kecendrungan saling membenci dan menjatuhkan berubah menjadi semangat saling melindungi sebagai sesama anak bangsa Aceh. Lalu, mampukah kita menyiapkan SDM yang kuat dalam kualitas dan kuantitas.

Selanjutnya kita semua harus memiliki sikap optimis dan selalu bekerja keras. Sebaliknya kehancuran suatu kaum akan terjadi kalau penduduknya sibuk menikmati kejayaannya yang sesungguhnya berawal dari bobroknya akhlak. Ini teraktualisasi pada perilaku korup, rakus, memangsa sesama. Menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu ambisinya, menikmati kesenangan dan mengkhianati rakyatnya.

Dalam konteks ini, sebagai masyarakat Aceh yang menjalankan syariat Islam, maka koridor pembangunan Aceh harus bernafaskan nilai syariat itu. Sistem yang tidak mengenal penghalalan segala cara, tidak berorientasi pada keuntungan semata, tapi mampu mensejahtrakan umat secara benar, halal dan barakah.

Pengalaman selama ini menunjukkan, kemajuan ekonomi selalu disertai dalam tatanan yang lebih beradab. Maka qanun sebagai bentuk rekayasa sosial harus mampu melahirkan paradigma pembangunan baru, yakni menyiapkan perubahan sosial yang membawa kemakmuran ekonomi tanpa harus menggadaikan harga diri dan marwah Aceh yang Islami.

Post a Comment

Previous Post Next Post