kabar daerah
Catatan: Usman Cut Raja
Newsataloen.com - PT ASEAN Aceh Fertilizer adalah sebuah perusahaan penghasil pupuk hasil gagasan bersama dalam kerjasama ekonomi dan industri negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Pabrik pupuk ini didirikan di kawasan industri pengolahan migas di kawasan Krueng Geukueh Kecamatan Dewantara Kota Lhokseumawe, Aceh.
Mulai direncanakan pada tahun 1979 dan dimulai pembangunannya pada tahun 1981. Pabrik ini mengeluarkan produksi pertamanya pada 1984.
Sejumlah pensiunan karyawan PT AAF yang diminta keterangan tentang sejarah PT AAF menjelaskan,
PT ASEAN Aceh Fertilizer memproduksi pupuk urea dan amonia cair sebagai produk sampingan. Menawarkan produk-produknya di Vietnam, Tiongkok, India, Sri lanka, Kamboja, Jepang, dan Taiwan. Sebagai proyek joint venture pertama antara negara-negara anggota ASEAN kehadiran pabrik pupuk ini diharapkan berkontribusi dalam menstabilkan suplai kebutuhan pupuk di negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Kedudukan pabrik dan kantor pusat operasionalnya di negara Indonesia membuat pabrik pupuk ini menjalankan usahanya berdasarkan undang-undang dan hukum yang berlaku di Indonesia.
Seiring dengan berakhirnya era kejayaan migas di Aceh maka PT ASEAN Aceh Fertilizer akhirnya menghentikan operasional produksinya. Pengelolaan aset yang dimiliki bekas pabrik pupuk ini pun terkendala dengan perbedaan pandangan dikalangan birokrasi pemerintah Indonesia.
Pembangunan dan operasional pabrik yang awalnya menggandeng modal bersama negara-negara ASEAN membuat pemerintah tidak bisa menetapkan status likuadasi yang bakal diputuskan atas pabrik ini. Sementara untuk menghidupkan kembali operasional industri pupuk juga terkendala pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
Komisi VI dan Pemerintah Temui Jalan Buntu Soal AAF
Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan pemerintah belum temukan kata sepakat tentang status PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF), sehingga proses likuidasi yang akan dilakukan terhadap pabrik pupuk tersebut tertunda.
Namun akhirnya Komisi VI dan Pemerintah sepakat untuk melakukan yudisial riview ke Mahkamah Konstitusi. Perbedaan pendapat sebelumnya terjadi dalam rapat kerja Komisi VI dipimpin Totok Daryanto, dengan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang membahas proses likuidasi PT. AAF, Selasa (12/2/1978), di Gedung DPR-RI, Jakarta.
Komisi VI berpendapat bahwa status PT. AAF adalah bagian dari BUMN, sedangkan Pemerintah berpandangan PT. AAF bukan BUMN.
Menurut Rambe Kamarulzaman (F-PG), PT. AAF berdiri dengan penyertaan modal negara, sesuai dengan PP No. 6 Tahun 1979 menyatakan negara Republik Indonesia melakukan penyertaan modal dalam pengusahaan dan pengembangan industri pupuk urea di Daerah Istimewa Aceh bersama dengan negara Asean lainnya. Jumlahnya 56, 34 Juta USD”, tegasnya.
Selain itu, dia mengungkapkan juga pada tahun 2006, PT. AAF menggunakan dana APBN untuk membayar gaji karyawannya. Dalam prosesnya DPR telah menyatakan bahwa PT. AAF adalah BUMN, jika dilikuidasi harus berdasarkan dengan No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Anggota dari F-PDIP Aria Bima menyatakan bahwa perbedaan pandangan antara DPR dan Pemerintah terhadap status PT. AAF diperlukan lembaga yang berwenang dalam menyelesaikannya.
Efiyardi Asda tidak dapat menerima penjelasan dari Meneg BUMN, dia mengkhawatirkan adanya iktikat yang tidak baik dalam rangka menyelesaikan masalah ini.
Zaenal Abidin yang berasal dari Aceh mengharapkan PT. AAF dapat segera menjalankan produksinya, sehingga dapat mensejahterakan rakyat khususnya Aceh.Dia setuju untuk menjual pabrik pupuk tersebut yang kemudian diadakan tender ulang secara terbuka.
Menteri Negara BUMN Safyan Djalil ketika itu memaparkan PT. AAF bukan merupakan BUMN berdasarkan PP No 6 Tahun 1979, Kep. Menkeu 151/KMK.011/1979, dan Anggaran Dasar AAF yang menyatakan Penyertaan Modal Negara dilakukan oleh negara kepada PT. Pusri, selanjutnya PT. Pusri melakukan penyertaan modal kepada AAF, sehingga Pemegang saham AAF adalah PT. Pusri bukan negara RI.
UU No. 19 Tahun 2003 Pasal 1 angka 1 tentang BUMN menyatakan suatu perusahaan disebut BUMN apabila terdapat penyertaanmodal negara secara langsung. Oleh karena itu AAF bukan BUMN, namun merupakan anak perusahaan PT. Pusri modalnya sebesar 60%.
Selain itu, sofyan Djalil juga menjelaskan dasar hukum bahwa pembubaran dan likuidasi AAF tidak memerlukan PP yaitu berdasarkan Pendapat Depkumham pembubaran AAF tidak memerlukan PP mengingat AAF bukan BUMN maka pembubarannya cukup dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang saham (RUPS)
Dia juga mengatakan bahwa Likuidasi AAF merupakan tindak lanjut dari sidang kabinet yang intinya memutuskan bahwa AAF cenderung untuk dilikuidasi kerena permasalahan ketiadaan pasokan gas dan Pemerintah RI telah memberikan subsidi gas sejak berdirinya perusahaan tersebut selama 20 tahun.
Berdasarkan Business Plan yang telah disusun bersama Direksi PT. Pusri, Direksi PT. PIM dan Eks Direksi PT. AAF disimpulkan bahwa integrasi antara PT. PIM dan PT AAF memerlukan persyarakatan jaminan pasokan gas atau perlu gasifikasi batubara, alokasi dana yang cukup besar yakni untuk gasifikasi barubara USD 800 Juta, membayar kepemilikan saham asing Rp. 63 milyar, hutang Rp. 414 milya. Persyaratan tersebut sulit dipenuhi mengingat keterbatasan APBN.
Selanjutnya, Sofyan menjelaskan atas rekomendasi dari Komisi VI, telah menghentikan proses likuidasi PT.AAF, namun telah terjual oleh likuidator senilai Rp. 32 Milyar, aset PT. AAF berupa gedung di jalan TB. Simatupang Kav. 18 Cilandak, Jakarta Selatan.
Hasil penjualan aset likuidasi diutamakan untuk membayar kepada para kreditur preferen diantaranya kepada negara atau pajak terhutang, para kreditur konkuren apabila terdapat sisa hasil penjualan, dan dibagikan kepada pemegang saham PT. AAF yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.
Mengenang Sejarah PT. ASEAN Aceh Fertilizer
Catatan: Usman Cut Raja
Newsataloen.com - PT ASEAN Aceh Fertilizer adalah sebuah perusahaan penghasil pupuk hasil gagasan bersama dalam kerjasama ekonomi dan industri negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Pabrik pupuk ini didirikan di kawasan industri pengolahan migas di kawasan Krueng Geukueh Kecamatan Dewantara Kota Lhokseumawe, Aceh.
Mulai direncanakan pada tahun 1979 dan dimulai pembangunannya pada tahun 1981. Pabrik ini mengeluarkan produksi pertamanya pada 1984.
Sejumlah pensiunan karyawan PT AAF yang diminta keterangan tentang sejarah PT AAF menjelaskan,
PT ASEAN Aceh Fertilizer memproduksi pupuk urea dan amonia cair sebagai produk sampingan. Menawarkan produk-produknya di Vietnam, Tiongkok, India, Sri lanka, Kamboja, Jepang, dan Taiwan. Sebagai proyek joint venture pertama antara negara-negara anggota ASEAN kehadiran pabrik pupuk ini diharapkan berkontribusi dalam menstabilkan suplai kebutuhan pupuk di negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Kedudukan pabrik dan kantor pusat operasionalnya di negara Indonesia membuat pabrik pupuk ini menjalankan usahanya berdasarkan undang-undang dan hukum yang berlaku di Indonesia.
Seiring dengan berakhirnya era kejayaan migas di Aceh maka PT ASEAN Aceh Fertilizer akhirnya menghentikan operasional produksinya. Pengelolaan aset yang dimiliki bekas pabrik pupuk ini pun terkendala dengan perbedaan pandangan dikalangan birokrasi pemerintah Indonesia.
Pembangunan dan operasional pabrik yang awalnya menggandeng modal bersama negara-negara ASEAN membuat pemerintah tidak bisa menetapkan status likuadasi yang bakal diputuskan atas pabrik ini. Sementara untuk menghidupkan kembali operasional industri pupuk juga terkendala pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
Komisi VI dan Pemerintah Temui Jalan Buntu Soal AAF
Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan pemerintah belum temukan kata sepakat tentang status PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF), sehingga proses likuidasi yang akan dilakukan terhadap pabrik pupuk tersebut tertunda.
Namun akhirnya Komisi VI dan Pemerintah sepakat untuk melakukan yudisial riview ke Mahkamah Konstitusi. Perbedaan pendapat sebelumnya terjadi dalam rapat kerja Komisi VI dipimpin Totok Daryanto, dengan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang membahas proses likuidasi PT. AAF, Selasa (12/2/1978), di Gedung DPR-RI, Jakarta.
Komisi VI berpendapat bahwa status PT. AAF adalah bagian dari BUMN, sedangkan Pemerintah berpandangan PT. AAF bukan BUMN.
Menurut Rambe Kamarulzaman (F-PG), PT. AAF berdiri dengan penyertaan modal negara, sesuai dengan PP No. 6 Tahun 1979 menyatakan negara Republik Indonesia melakukan penyertaan modal dalam pengusahaan dan pengembangan industri pupuk urea di Daerah Istimewa Aceh bersama dengan negara Asean lainnya. Jumlahnya 56, 34 Juta USD”, tegasnya.
Selain itu, dia mengungkapkan juga pada tahun 2006, PT. AAF menggunakan dana APBN untuk membayar gaji karyawannya. Dalam prosesnya DPR telah menyatakan bahwa PT. AAF adalah BUMN, jika dilikuidasi harus berdasarkan dengan No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Anggota dari F-PDIP Aria Bima menyatakan bahwa perbedaan pandangan antara DPR dan Pemerintah terhadap status PT. AAF diperlukan lembaga yang berwenang dalam menyelesaikannya.
Efiyardi Asda tidak dapat menerima penjelasan dari Meneg BUMN, dia mengkhawatirkan adanya iktikat yang tidak baik dalam rangka menyelesaikan masalah ini.
Zaenal Abidin yang berasal dari Aceh mengharapkan PT. AAF dapat segera menjalankan produksinya, sehingga dapat mensejahterakan rakyat khususnya Aceh.Dia setuju untuk menjual pabrik pupuk tersebut yang kemudian diadakan tender ulang secara terbuka.
Menteri Negara BUMN Safyan Djalil ketika itu memaparkan PT. AAF bukan merupakan BUMN berdasarkan PP No 6 Tahun 1979, Kep. Menkeu 151/KMK.011/1979, dan Anggaran Dasar AAF yang menyatakan Penyertaan Modal Negara dilakukan oleh negara kepada PT. Pusri, selanjutnya PT. Pusri melakukan penyertaan modal kepada AAF, sehingga Pemegang saham AAF adalah PT. Pusri bukan negara RI.
UU No. 19 Tahun 2003 Pasal 1 angka 1 tentang BUMN menyatakan suatu perusahaan disebut BUMN apabila terdapat penyertaanmodal negara secara langsung. Oleh karena itu AAF bukan BUMN, namun merupakan anak perusahaan PT. Pusri modalnya sebesar 60%.
Selain itu, sofyan Djalil juga menjelaskan dasar hukum bahwa pembubaran dan likuidasi AAF tidak memerlukan PP yaitu berdasarkan Pendapat Depkumham pembubaran AAF tidak memerlukan PP mengingat AAF bukan BUMN maka pembubarannya cukup dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang saham (RUPS)
Dia juga mengatakan bahwa Likuidasi AAF merupakan tindak lanjut dari sidang kabinet yang intinya memutuskan bahwa AAF cenderung untuk dilikuidasi kerena permasalahan ketiadaan pasokan gas dan Pemerintah RI telah memberikan subsidi gas sejak berdirinya perusahaan tersebut selama 20 tahun.
Berdasarkan Business Plan yang telah disusun bersama Direksi PT. Pusri, Direksi PT. PIM dan Eks Direksi PT. AAF disimpulkan bahwa integrasi antara PT. PIM dan PT AAF memerlukan persyarakatan jaminan pasokan gas atau perlu gasifikasi batubara, alokasi dana yang cukup besar yakni untuk gasifikasi barubara USD 800 Juta, membayar kepemilikan saham asing Rp. 63 milyar, hutang Rp. 414 milya. Persyaratan tersebut sulit dipenuhi mengingat keterbatasan APBN.
Selanjutnya, Sofyan menjelaskan atas rekomendasi dari Komisi VI, telah menghentikan proses likuidasi PT.AAF, namun telah terjual oleh likuidator senilai Rp. 32 Milyar, aset PT. AAF berupa gedung di jalan TB. Simatupang Kav. 18 Cilandak, Jakarta Selatan.
Hasil penjualan aset likuidasi diutamakan untuk membayar kepada para kreditur preferen diantaranya kepada negara atau pajak terhutang, para kreditur konkuren apabila terdapat sisa hasil penjualan, dan dibagikan kepada pemegang saham PT. AAF yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.
Via
kabar daerah
Post a Comment