kabar daerah
Banda Aceh, newsataloen.com - Tingginya potensi transaksional menjelang pemilu dengan mempertaruhkan Sumber Daya Alam (SDA) Aceh hendaknya menjadi perhatian semua pihak. Pasalnya terkait izin pertambangan ini rawan dijadikan komoditas perdagangan politik untuk meraup dukungan dan sumber-sumber logistik menjelang pilkada di Aceh.
"Transaksi politik dengan menggadaikan SDA di bumi serambi mekkah ini menjadi salah satu persoalan yang begitu memprihatinkan dan sangat rawan terjadinya korupsi di Sektor SDA. Indikasi terjadinya permainan mafia tambang dalam dukungan logistik untuk kebutuhan politik Pilkada hendaknya diantisipasi sehingga SDA Aceh dapat dikelola secara berkelanjutan untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan pihak tertentu yang hanya ingin menggrogoti hasil alam Aceh," ungkap Ketua DPW Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi Mahmud Padang, Minggu 11 Agustus 2024.
Menurut Mahmud, disatu sisi ada elit politik pragmatis yang haus kekuasaan sehingga rela menggadaikan bumi Aceh demi meraup dukungan politik dan logistik guna memuluskan hasratnya berkuasa. Di lain sisi adanya ambisi para pelaku tambang yang ingin menguasai SDA di Aceh tanpa harus mentaati regulasi secara utuh, sehingga pihaknya dapat meraup pundi-pundi dari kekayaan alam Aceh dengan memanfaatkan momentum politik.
"Pertemuan dua kepentingan ini biasanya sangat rawan terjadi Korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN) yang berpotensi merugikan daerah, negara dan rakyat,"ujarnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya korupsi di bidang SDA tersebut, maka Alamp Aksi mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung bisa lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan dan pemberantasan korupsi di Aceh.
"Kita khawatir para pemimpin kita ke depan karena dihimpit oleh kepentingan dukungan pemenangan politik lalu terjerumus untuk menggadaikan sumber daya alam kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Alhasil nantinya negara dan rakyat akan dirugikan," tambahnya.
Dia melanjutkan, dinamika permainan tambang yang biasa terjadi transaksi itu diantaranya terkait izin baru yang diperlukan sementara persyaratan belum terpenuhi, pengamanan usaha tambang yang sedang berlangsung namun tak sesuai regulasi, bahkan perpanjangan izin usaha pertambangan yang akan berakhir agar dilewatkan dalam hal evaluasi walau sebelumnya berjalan dengan segenap persoalan, bahkan perusahaan tambang yang sempat ditutup karena melanggar pun juga berpeluang memanfaatkan momentum Pilkada ini agar bisa kembali menggarap hasil alam di Aceh.
Dia mencontohkan, apakah ada kemungkinan PT EMM di Nagan Raya dan PT BMU di Aceh Selatan dan lain-lain yang sudah dicabut izinnya karena melanggar aturan mungkin akan kembali? "Hal itu sah-sah saja dan mungkin saja jika didukung oleh Pemerintahan nantinya,"katanya
Dia juga memaparkan, setidaknya ada 2(dua) Izin Usaha Pertambangan yang akan berakhir di Aceh. "Pertama, PT Lhong Setia Mining di Kabupaten Aceh Besar dengan luas 500 ha, sesuai izin usaha pertambangan (IUP OP) komoditas bijih besi dengan nomor 540/01/IUP-OP/2010 akan berakhir pada 20 Maret 2025. Kedua, PT Mifa Bersaudara yang dikabarkan milik salah satu Pimpinan Partai Nasional di Kabupaten Aceh Barat dengan luas 3134 Ha untuk komoditas batubara, sesuai dengan izin usaha pertambangan(IUP OP) Nomor 117.b Tahun 2011 akan berakhir 13 April 2025," bebernya.
Sebelum izin pertambangan itu diperpanjang, hendaknya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) turun melakukan evaluasi apakah perusahaan tambang tersebut sudah berjalan sebelumnya sesuai aturan, apakah tanggung jawabnya selama ini sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak.
"DPRA melalui fungsi pengawasannya seharusnya membentuk Pansus untuk mengawasi sekaligus mengevaluasi kelayakan perusahaan tambang tersebut diperpanjang izin nya atau tidak.
"DPRA juga harus mengevaluasi apakah 2(dua) perusahaan tersebut sudah memenuhi kewajibannya secara aturan, baik itu CSR, tenaga kerja, AMDAL, Pajak dan sebagainya. Kemudian apakah selama beroperasi perusahaan tambang tersebut berdampak negatif kepada masyarakat misalkan karena tidak menjalankan AMDAL maka terjadi banjir, bahkan aspek penyerapan tenaga kerja lokal Aceh juga harus dievaluasi seperti apa. Hal itu harus dilakukan sebelum perpanjangan izin kembali diberikan, jika mudhoratnya lebih besar dari pada manfaatnya bagi rakyat dab daerah, kenapa tidak pemerintah harus menolak perpanjangan izinnya," kata Mahmud.
Mahmud juga mendesak agar Kejagung, KPK dan DPRA benar-benar mengawasi kebijakan perizinan tambang yang ada di Aceh. Jangan sampai perizinan tambang nantinya dijadikan alat tukar menukar dalam politik Pilkada sementara mengabaikan nasib rakyat Aceh khususnya yang selama ini berada di kawasan sekitar tambang.
"Rakyat Aceh tidak anti investasi, namun jika itu merugikan negara dan rakyat atau tidak sesuai dengan regulasi/aturan, maka tentunya pemerintah juga harus bersikap tegas,"pungkasnya.
Rawan Transaksional dan Korupsi SDA Jelang Pilkada, KPK hingga Kejagung dan DPRA Awasi Perpanjangan Izin Tambang di Aceh
Mahmud Padang
Banda Aceh, newsataloen.com - Tingginya potensi transaksional menjelang pemilu dengan mempertaruhkan Sumber Daya Alam (SDA) Aceh hendaknya menjadi perhatian semua pihak. Pasalnya terkait izin pertambangan ini rawan dijadikan komoditas perdagangan politik untuk meraup dukungan dan sumber-sumber logistik menjelang pilkada di Aceh.
"Transaksi politik dengan menggadaikan SDA di bumi serambi mekkah ini menjadi salah satu persoalan yang begitu memprihatinkan dan sangat rawan terjadinya korupsi di Sektor SDA. Indikasi terjadinya permainan mafia tambang dalam dukungan logistik untuk kebutuhan politik Pilkada hendaknya diantisipasi sehingga SDA Aceh dapat dikelola secara berkelanjutan untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan pihak tertentu yang hanya ingin menggrogoti hasil alam Aceh," ungkap Ketua DPW Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi Mahmud Padang, Minggu 11 Agustus 2024.
Menurut Mahmud, disatu sisi ada elit politik pragmatis yang haus kekuasaan sehingga rela menggadaikan bumi Aceh demi meraup dukungan politik dan logistik guna memuluskan hasratnya berkuasa. Di lain sisi adanya ambisi para pelaku tambang yang ingin menguasai SDA di Aceh tanpa harus mentaati regulasi secara utuh, sehingga pihaknya dapat meraup pundi-pundi dari kekayaan alam Aceh dengan memanfaatkan momentum politik.
"Pertemuan dua kepentingan ini biasanya sangat rawan terjadi Korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN) yang berpotensi merugikan daerah, negara dan rakyat,"ujarnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya korupsi di bidang SDA tersebut, maka Alamp Aksi mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung bisa lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan dan pemberantasan korupsi di Aceh.
"Kita khawatir para pemimpin kita ke depan karena dihimpit oleh kepentingan dukungan pemenangan politik lalu terjerumus untuk menggadaikan sumber daya alam kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Alhasil nantinya negara dan rakyat akan dirugikan," tambahnya.
Dia melanjutkan, dinamika permainan tambang yang biasa terjadi transaksi itu diantaranya terkait izin baru yang diperlukan sementara persyaratan belum terpenuhi, pengamanan usaha tambang yang sedang berlangsung namun tak sesuai regulasi, bahkan perpanjangan izin usaha pertambangan yang akan berakhir agar dilewatkan dalam hal evaluasi walau sebelumnya berjalan dengan segenap persoalan, bahkan perusahaan tambang yang sempat ditutup karena melanggar pun juga berpeluang memanfaatkan momentum Pilkada ini agar bisa kembali menggarap hasil alam di Aceh.
Dia mencontohkan, apakah ada kemungkinan PT EMM di Nagan Raya dan PT BMU di Aceh Selatan dan lain-lain yang sudah dicabut izinnya karena melanggar aturan mungkin akan kembali? "Hal itu sah-sah saja dan mungkin saja jika didukung oleh Pemerintahan nantinya,"katanya
Dia juga memaparkan, setidaknya ada 2(dua) Izin Usaha Pertambangan yang akan berakhir di Aceh. "Pertama, PT Lhong Setia Mining di Kabupaten Aceh Besar dengan luas 500 ha, sesuai izin usaha pertambangan (IUP OP) komoditas bijih besi dengan nomor 540/01/IUP-OP/2010 akan berakhir pada 20 Maret 2025. Kedua, PT Mifa Bersaudara yang dikabarkan milik salah satu Pimpinan Partai Nasional di Kabupaten Aceh Barat dengan luas 3134 Ha untuk komoditas batubara, sesuai dengan izin usaha pertambangan(IUP OP) Nomor 117.b Tahun 2011 akan berakhir 13 April 2025," bebernya.
Sebelum izin pertambangan itu diperpanjang, hendaknya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) turun melakukan evaluasi apakah perusahaan tambang tersebut sudah berjalan sebelumnya sesuai aturan, apakah tanggung jawabnya selama ini sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak.
"DPRA melalui fungsi pengawasannya seharusnya membentuk Pansus untuk mengawasi sekaligus mengevaluasi kelayakan perusahaan tambang tersebut diperpanjang izin nya atau tidak.
"DPRA juga harus mengevaluasi apakah 2(dua) perusahaan tersebut sudah memenuhi kewajibannya secara aturan, baik itu CSR, tenaga kerja, AMDAL, Pajak dan sebagainya. Kemudian apakah selama beroperasi perusahaan tambang tersebut berdampak negatif kepada masyarakat misalkan karena tidak menjalankan AMDAL maka terjadi banjir, bahkan aspek penyerapan tenaga kerja lokal Aceh juga harus dievaluasi seperti apa. Hal itu harus dilakukan sebelum perpanjangan izin kembali diberikan, jika mudhoratnya lebih besar dari pada manfaatnya bagi rakyat dab daerah, kenapa tidak pemerintah harus menolak perpanjangan izinnya," kata Mahmud.
Mahmud juga mendesak agar Kejagung, KPK dan DPRA benar-benar mengawasi kebijakan perizinan tambang yang ada di Aceh. Jangan sampai perizinan tambang nantinya dijadikan alat tukar menukar dalam politik Pilkada sementara mengabaikan nasib rakyat Aceh khususnya yang selama ini berada di kawasan sekitar tambang.
"Rakyat Aceh tidak anti investasi, namun jika itu merugikan negara dan rakyat atau tidak sesuai dengan regulasi/aturan, maka tentunya pemerintah juga harus bersikap tegas,"pungkasnya.
Via
kabar daerah
Post a Comment