Aceh Vakum Tanpa Arahan
Ir. Zainal Abidin |
Banda Aceh, newsataloen.com-Pergolakan dan pembebasan masyarakat Aceh, sebuah narasi yang merangkum perjalanan panjang konflik dan upaya penyelesaiannya, menjadi bagian tak terpisahkan dari alur sejarah Indonesia modern. Seperti yang diungkapkan oleh narasi-narasi sejarah yang berulang, Aceh adalah medan pertarungan antara kekuasaan pusat dan aspirasi lokal, yang terkadang terlihat seperti permainan catur politik yang kompleks.
Pada tahun 1992, Ibrahim Hasan, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Aceh, memainkan peran kunci dalam dinamika politik regional. Di bawah tekanan dari pemerintah pusat, ia berhasil menyingkirkan kekuatan politik lokal dan nasional, seperti Partai PPP, dan mendominasi kursi DPRD Aceh dengan Fraksi Karya Pembangunan. Langkah kontroversialnya membangun Menara Modal di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, menjadi simbol kekuasaan dan dominasi.
Namun, di balik tirai keberhasilan tersebut, gelombang kekerasan tidak terelakkan. Aceh menjadi daerah operasi militer yang tertutup rapat dari mata dunia, dimana ‘Operasi Jaring Merah’ secara diam-diam dilancarkan untuk membungkam Gerakan Aceh Merdeka. Perang terus berlanjut bahkan setelah rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, dengan eskalasi yang memicu terjadinya gejolak massa dan memicu perang saudara.
Upaya perdamaian yang dilakukan oleh para tokoh nasional seperti Gus Dur, Amin Rais, dan Megawati tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Meskipun demikian, momentum perubahan muncul dengan pembubaran ‘Operasi Jaring Merah’ dan deklarasi gencatan senjata pada tahun 2005 setelah perjanjian Helsinki. Namun, dualisme kekuasaan dan pertarungan politik terus melanda, kali ini dengan motif ekonomi sebagai isu sentral.
Perjalanan Aceh pasca-gempa dan tsunami tahun 2004 menjadi titik balik dalam sejarahnya. Dalam bencana yang melanda secara tragis, masyarakat Aceh menemukan kekuatan solidaritas dan semangat untuk membangun kembali. Proses rekonstruksi tidak hanya membawa kemajuan fisik, tetapi juga menghasilkan akulturasi antara mantan pemberontak GAM dan pemerintah pusat.
Namun, di tengah harapan akan perdamaian, kepentingan politik dan ekonomi tetap berperan. Para pejuang politik dan pengusaha berbondong-bondong ke Aceh, memanfaatkan peluang dan memperluas jaringan bisnis mereka. Seiring dengan itu, Aceh menjadi ‘panggung’ bagi tokoh-tokoh internasional seperti Martti Ahtisaari, yang berperan dalam pembentukan perjanjian Helsinki. Martti Ahtisaari akhirnya memperoleh hadiah Nobel Perdamaian tahun 2008, setelah sukses dalam serangkaian misi perdamaian di Aceh, Kosovo, Irak dan Namibia.
Namun, dalam pembacaan yang lebih dalam, narasi konflik di Aceh tidak hanya tentang pertarungan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Ini juga mencerminkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang mendalam, serta perjuangan rakyat Aceh untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Di balik semua kekacauan dan pertarungan, masyarakat Aceh terus mencari arti dan pemahaman atas peristiwa yang melanda mereka. (bersambung).
Penulis: Ir Zainal Abidin Ketua LSM RASA
Post a Comment