Opini: Kebijakan untuk Pemajuan dan Perlindungan Kaum Marjinal di Aceh
Oleh:Darni M Daud, PhD.
Banda Aceh, newsataloen.com - Tulisan ini memaparkan bagaimana kebijakan yang tepat untuk memajukan dan melindungi kaum marjinal di Aceh. Kaum marjinal adalah mereka yang terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial-kemasyarakatan, budaya, ekonomi, dan politik (Perlman, 2010).
Keterpinggiran ini bisa terjadi di berbagai konteks, baik di negara miskin maupun kaya. Keterpinggiran ini mudah terdeteksi di aneka lini kepemerintahan baik negeri maupun swasta. Mereka bisa berasal dari ras, etnis, dan/atau bahkan keyakinan/agama minoritas.
Tapi, tidak sedikit juga mereka yang berasal dari ras, etnis, dan agama mayoritas atau mainstream merupakan bagian dari kaum marjinal dimaksud. Masyarakat miskin kota seperti pemulung, gelandangan, pengemis, atau buruh lepas dan rendahan termasuk kaum marjinal. Begitu juga dengan mereka yang mengalami diskriminasi, kekerasan, dan penindasan sehingga tidak dapat merajut kehidupan sebagamana layaknya manusia normal.
Disamping itu, kalangan difabel (differently abled person), dan aneka kelainan lainnya, dapat dilihat sebagai kaum marjinal dalam konteks ini. Ketidaknormalan secara fisik dan mental menjadikan mereka berbeda. Mereka terpinggirkan karena tidak mendapat sentuhan pemajuan dan perlindungan yang dibutuhkan agar dapat menjalani kehidupan secara normal. Dengan kata lain, mereka lazimnya tidak memiliki akses terhadap program pembangunan yang dirancang dan diperuntukkan bagi mereka.
Mereka tidak lebih sebagai penerima terhadap apa yang telah direncanakan orang lain tanpa partisipasi mereka. Padahal, keterlibatan mereka (misalnya dalam bentuk community work) ikut menentukan ketepatan program pembangunan dalam suatu masyarakat (Okech, Nesmery & Mackinova, 2020. Singkatnya, mereka lebih diposisikan sebagai objek pembangunan semata.
Keterpinggiran kaum marjinal terdeteksi, baik secara formal maupun tidak, sering ternegasikan karena berbagai alasan. Pada tataran formal kepemerintahan, kaum marjinal tidak memiliki akses terhadap saluran informasi untuk didengarkan bagaimana permasalahan dan kebutuhan mereka. Bahkan, untuk Tingkat desa saja mereka tidak diundang untuk berparsipasi, meski pada tataran minim sekalipun.
Untuk musyawarah desa lazimnya mereka tidak diukutsertakan. Sedangkan pada tataran kehidupan kemasyarakatan keseharian, mereka biasanya tidak dianggap karena keterbatasan yang melekat sebagai naif, lemah, dan lebih sebagai kalangan yang butuh perhatian. Padahal sejumlah Undang-Undang telah dimiliki untuk memberikan perhatian yang memadai bagi kaum marjinal (Ismail, 2013).
Malah, bukan saja tidak dianggap, tapi lebih jauh mereka dilihat sebagai nobody. Karena keadaan demikian, kompleksitas permasalahan dan kebutuhan kaum marjinal seringkali terabaikan. Melihat realita dan kompleksitas ini maka pemimpin yang diberi amanah mesti mendalami, mencari tahu secara intens, mendengar dan melihat serta mengamati eksistensi mereka sehingga dapat menawarkan solusi yang tepat sasaran.
Untuk memahami kaum marjinal, yang utama mesti dilakukan adalah bagaimana menghargai mereka sebagai manusia dengan melibatkansecara aktif (Kummitha, 2017).. Sebagaimana yang lain, mereka mempunya hak untuk didengarkan dan dilibatkan dalam merancang program untuk mereka. Perencanaan dimaksud harus diterjemahkan sesuai dengan kebutuhan mereka, bukan menurut kepentingan perancang atau pembuat policy. Adalah tanggungjawab seorang pemangku kepentingan, pemimpin, untuk melacak kebutuhan dan kepentingan mereka sebagai bagian dari warga negara yang berhak mendapatkan perhatian dan akses pembangunan yang dijalankan.
Memang dibutuhkan kesabaran karena kaum marjinal biasanya amat rentan, begitu peka dengan apa yang dialami, sehingga mereka mudah marah, sakit hati, atau pasrah dengan kesulitan kehidupan keseharian. Ini dapat dipahami karena kaum marjinal biasanya tidak mencukupi kebutuhan pokoknya, dan tidak jarang mereka justru mengalami ketidakadilan dan bahkan eksploitasi.
Strategi pelibatan kaum marjinal untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus diparadigmai komitmen untuk melihat mereka sebagai SDM yang bernilai. Karena itu, mereka harus dilibatkan dalam aneka bidang pembangunan. Apalagi, jika ditilik lebih jauh, kaum marjinal pada dasarnya mempunyai potensi dan kecakapan tertentu yang dapat menjadikan mereka produktif, bukan sebagai penerima bantuan atau belas kasihan konsumtif pemimpinya belaka.
Mereka hendaknya tidak diposisikan sebagai objek, tapi juga sebagai subjek pembangunan. Kebijakan untuk memposisikan kaum marjinal sebagai SDM sejalan dengan hakikat pembangunan manusia seutuhnya. Mereka bisa saja memberikan, bukan sekedar menerima, dalam berbagai program kepemerintahan.
Kesemua bidang pembangunan, meliputi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, agama, dan bahkan aktivitas lainnya, seperti partisipasi aktif dalam bidang politik, perlu melibatkan kaum marjinal sesuai dengan kapasitas, kecakapan, dan keterampilan yang dimiliki.
Agar mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan tersebut, maka kaum marjinal harus diupayakan penguatan sumberdaya menusia (SDM)-nya. Artinya, mereka harus dididik untuk memahami yang bahwa mereka mempunyai hak untuk pemenuhan hak-haknya, sejalan dengan konsep pembangunan bagi semua. Setelah ada kecakapan dan keterampilan tersebut, mereka harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan dirinya.
Policy yang menempatkan mereka sebagai subjek pembangunan merupakan salah satu kebijakan inklusif yang amat dibutuhkan untuk konteks Aceh kekinian dan keakanan. Jadi, pembangunan SDM inklusif seperti ini menjadikan kaum marjinal mandiri dalam merajut kehidupannya.
Pemajuan dan perlindungan hak-hak kaum marjinal bisa saja mendapat tantangan dari mereka yang tergolong atau merasa diri kaum mainstream dalam aktivitas pembangunan. Tantangan ini bisa jadi karena kelompok ini sudah merasakan nikmatnya pembangunan yang berlangsung selama ini.
Boleh jadi, bagi kaum mainstream, meskipun policy pembangunan yang sudah berjalan menegasikan eksistensi dan hak-hak kaum kaum marjinal, bisa saja dianggap benar dan ingin terus dilanjutkan. Disinilah perlu adanya keberpihakan pemimpin selaku policy maker. Disinilah pula ujian apakah seorang pemimpin telah, sedang, atau belum berperan sebagai inclusive policy maker yang anti-diskriminasi terhadap kaum marjinal. (Penulis; Bacagub Aceh 2024, Darni M Daud, P.hDadalah Mantan Rektor & Professor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh)
Referensi:
Ismail, N. (2013). Hukum dalam lingkar kehidupan kelompok marjinal. Pidato pada Dies Natalis ke-67. Yoyakarta, Ind: Universitas Gajah Mada.
Kummitha, R. K. (2017). Social enterpreneurship, community participation, and embeddedness. Singapore: Springer.
Perlman, J. (2010). Favela: four decades of living on the edge in Rio de Janeiro. Oxford, UK: Oxford University Press.
Okech, V. O., Nesmery, S., & Mackinova, M. (2020). Empowering the marginalized through the community work: a literature review. Prague, Chech Republic: CBU International Conference on Innovations in Science and Education. March 18-20, 2020.
Post a Comment