Sebentar lagi Aceh akan memilih pemimpin atau gubernur baru. Pengalaman dari banyak gubernur yang pernah memimpin Aceh, siapa yang paling berhasil dan siapa yang gagal tergantung kepada masing masing yang menilainya. Namun yang pasti mareka mareka yang pernah memimpin Aceh tentu orang orang pilihan pada zamannnya.
Uniknya banyak gubernur di Aceh sebelumnya dengan masa bakti cuma setahun atau dua tahun misalnya, Teuku Nyak Arief (1945-1946), Teuku Daud Syah (1947-1948),Tgk. Daud Beureueh (1948-1951), Danu Broto (1951-1952),
Teuku Sulaiman Daud (1952-1953), Abdul Wahab (1953-1955), Abdul Razak (1955-1956), Nyak Adam Kamil (1964-1966), H. Hasbi Wahidi (1966-1967).
Sementara yang dinilai lama masing masing, Prof Ali Hasymy (1957-1964), Prof. Dr. Ibrahim Hasan (1986- 1993), Prof Dr Syamsuddin Mahmud (1993-2000), dan A. Muzakkir Walad (1967-1978). Kemudian Prof. Dr. A. Madjid Ibrahim (1978-1981), H. Hadi Thayeb (1981-1986), Abdullah Puteh (2000- 2004) Irwandi Yusuf (2007- 2011), 2 periode yakni 2007–2012 dan 2017–2018. Lalu dr Zaini Abdullah (2012-2017). Ada juga sebagai pejabat (PJ) seperti Eddy Sabhara (1981), Ramli Ridwan, (Juni-November 2000), Azwar Abubakar (2004- 2005) dan Mustafa Abubakar. (2005- 2007), Sekarang PJ Achmad Marzuki (2022-2024).
Diantara semua mareka yang pernah memimpin Aceh semua baik dan berhasil, namun ada beberapa yang lebih berhasil diantaranya Prof Ali Hasymy, A Muzakkir Walad, Prof Dr A Madjid Ibrahim, Prof Dr Ibrahim Hasan, Prof Dr Syamsuddin Mahmud, Hadi Thayeb mungkin termasuk Irwandi Yusuf.
Keberhasilan yang dicapai karena mareka, memiliki tugas dan tanggung jawab tersendiri. Memiliki mental yang kreatif untuk menempatkan pikiran kearah kemajuan daerah. Mareka, terus bergerak menuju kepada perubahan. Selain itu memiliki gagasan-gagasan, ide cerdas dalam menyusun program.
Keberhasilan yang dicapai misalnya mampu menutupi terhadap kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Misalnya dalam hal pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan yang menuntut biaya mahal mampu ditekan bahkan terbebas dari segala biaya. Semua ini tidak terlepas dari peran seorang gubernur untuk berani menampilkan sesuatu yang baru melalui program yang inovatif.
Siapapun dan bagaimanapun seorang gubernur Aceh pada masanya semua dicintai oleh rakyat, karena behaviour dan karakternya tidak jauh berbeda dari karakter sebagian besar orang Aceh sendiri.
Karenanya pula jika hari ini kekayaan alam Aceh bila diplotkan dengan aspek historis sosio-economi masyarakat Aceh yang mencitrakan ketidakmapanan dan sudah berlangsung lama, maka kesimpulan yang umum dan paling logis untuk dilontarkan adalah ”itu semua akibat implikasi komulatif dari ketidakmampuan individu pemimpin di Aceh selama ini dalam mengelola daerah.
Namun kesimpulan ini tidak semua benar, tapi sangat berdasar manakala kita mencermati otoritas signifikan yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menentukan arah perjalanan pembangunan daerah. Dengan kata lain kualitas kolektif individual seorang pemimpin merupakan parameter mutlak terwujudnya kesejahteraan, keadilan yang merata bagi semua rakyat Aceh.
Melihat kondisi Aceh sekarang ini yang mengalami perubahan yang sangat radikal hampir disegala lini kehidupan. Budaya, social, ekonomi dan politik seakan-akan sudah terputus dengan sejarah masa lalu. Bahkan nilai-nilai Islami yang menjadi way of life orang Aceh telah kian memudar.
Ditambah lagi dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, dalam era globalisasi, teknologi dan pengaruh narkotika membuat moral anak bangsa Aceh sekarang ini semakin hancur. Ranah social dan budaya yang sudah tidak lagi memahami adat. Lalu kemudahan teknologi yang salah mempergunakannya telah membuat kondisi pergaulan silaturrahmi orang Aceh semakin renggang.
Kondisi seperti ini telah memicu masyarakat untuk bertindak anarkis dalam menampakkan antisosial dan antikemapanan. Para pejabat seperti berlomba menumpuk kekayaan. Para pengadil yang diadili, serta para politisi dan elit kekuasaan yang tidak peduli dengan etika berpolitik dan nasib rakyatnya yang diterpa sengsara.
Kondisi ini merupakan cerminan situasi Aceh sekarang ini yang hampir tidak lagi bermoral. Sebagai contoh, dalam kehidupan bermasyarakat para generasi muda sudah tidak lagi menghormati dan menghargai orang tua. Semua ini merupakan tanda-tanda kecacatan etika dan moral.
Untuk kita ketahui, kompleksitas persoalan yang sedang melilit Aceh saat ini, mulai dari kemiskinan, lapangan kerja dan disintegrasi wilayah yang senantiasa dapat mengancam kepada perpecahan dan kerukunan masyarakat Aceh, Kondisi ini hendaknya bisa menjadi bahan renungan semua elemen rakyat Aceh untuk tidak gegabah menentukan sebuah sikap.
Rakyat Aceh saat ini sedang menunggu sebuah perubahan dan terobosan yang dapat dirasakan dan bermanfaat kepada semua. Hom hai, Entah Kiban Aceh Nyo Eunteuk.
Post a Comment