Antara Inong Gampong dan Inong Kota



Aceh Utara, newsataloen.com -Nyak Munah, seorang pedagang perempuan yang lahir di gampong terpencil, Glee Urong, Aceh Utara, 1992 sukses dalam berdagang memiliki cerita tersendiri setelah mengamati kehidupan perempuan terutama yang tinggal di gampong gampong yang disebut sebagai inong gampong..
Menurut Nyak Munah, kehidupan perempuan baik diperkotaan maupun pedesaan ditemukan banyak ketimpangan dan belum adil. Belum banyak menyentuh sisi kehidupan perempuan terutama perempuan gampong dengan segala aspek yang melingkupinya.
 
Dalam hubungan ini, Nyak Munah yang sehari hari berjualan rempah rempah mendampingi suami tercinta mengaku, banyak sisi yang perlu digali dari kehidupan inong gampong, baik dari ranah kehidupan individu, sosial, pola pikir, etos kerja dan problem-problem kekinian lainnya.

Coba bayangkan paparnya, kuatnya dikotomi antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan tak pelak menghadirkan sejumlah anasir yang merembet pada pencitraan inong gampong. Keberadaan inong gampong yang selalu diasosiasikan dengan keterbelakangan, membuat derajat perempuan gampong seolah lebih rendah dibandingkan inong kota.

Ironisnya lagi, sebutan inong gampong dengan inong kota hanya didasarkan pada perbedaan tempat tinggal sehingga terjadi generalisasi yang tidak tepat. Kaum perempuan yang tinggal di perkotaan dikesankan jauh lebih maju dibanding kaum perempuan yang tinggal di pedesaan. Padahal realitasnya tidak selalu demikian.

Menurut Nyak Munah saat berbincang dengan  Media ini  di kedainya kawasan Krueng Geukueh belum lama ini menuturkan,  ada kalanya inong gampong bisa tampil lebih maju dan mampu mengukir prestasi dalam ranah kehidupan. Sementara tidak sedikit inong kota yang kondisinya tidak jauh lebih baik dari inong gampong.

Jika demikian kenyataannya lanjut Nyak Munah, masih perlukah kita mempertahankan dikotomi yang tidak fair itu?. Sesungguhnya inong gampong memiliki sekat tersendiri ketika mereka berhadapan dengan problem-problem kekinian. Mereka yang selama ini dikesankan sebagai sosok sederhana, tidak banyak tingkah dan menerima keadaan, sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa yang mampu menciptakan perubahan jika diberdayakan secara maksimal.

Justru yang terlihat sekarang ini inong gampong sedang mengalami semacam fase perubahan mengiringi arus modernitas dan globalisme dunia modern. Sebagian inong gampong mulai mengalami fase berpenampilan ingin sama, dari yang semula pasif dan lugu kini telah menjelma menjadi sosok yang penuh inisiatif dan tidak mudah mengalah.

Dicontohkan, meningkatnya taraf pendidikan dan bertambahnya pengalaman di luar tempat tinggalnya membuat inong gampong meningkat daya kritisnya dan tidak mudah dikendalikan pihak lain. Bahkan inong gampong yang lahir diatas tahun 1980-an barangkali sudah mulai bangkit kesadarannya untuk merubah citra kampungan menjadi inong yang setara dengan inong kota.

Sebab antara inong kota dengan inong gampong memiliki kesempatan yang sama dalam memperjuangkan nasib dan kesetaraan dalam makna yang sesungguhnya.

Dapat dirasakan, inong gampong mulai berani memberontak dan berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang membelenggunya. Lihatlah dalam hal penampilan fisik, cara berpakaian, bertutur kata dan hal-hal lainnya. Antara inong gampong dengan inong kota kini nyaris sama, meskipun dalam hal-hal tertentu masih ada perbedaan.

Begitu juga dalam kancah ekonomi, sebagian inong gampong juga telah mengambil alih posisi, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini dapat dibuktikan dengan kian meningkatnya jumlah inong gampong yang terjun dalam dunia usaha, berdagang atau lainnya.

Banyak inong gampong telah mampu mencari posisi dan pengalaman baru dalam hidupnya. Kelonggaran regulasi yang diberikan pemerintah telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh inong gampong untuk merubah nasib dan meningkatkan derajatnya.

Pemberdayaan perempuan yang selama ini diperjuangkan banyak pihak merupakan bagian dari strategi memajukan kaum perempuan. Perjuangan ini tentu saja tidak mengenal batas geografis maupun strata sosial. Kaum perempuan di manapun tempat tinggalnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian.

Karenanya, Munah meminta Pemerintah Aceh untuk lebih memfokuskan program pemberdayaan perempuan sebagai program prioritas. "Pemberdayaan perempuan tampaknya masih sebatas retorika belaka dan belum tercermin dalam kebijakan daerah yang nyata," kata Munah yang mengaku telah menelusuri beberapa daerah pedalaman di Aceh.

Menurutnya, di satu pihak pemerintah ingin memajukan dan memberi peran yang signifikan kepada perempuan. Namun, di sisi lain kurang sekali keinginan tersebut diikuti dengan kebijakan daerah yang nyata untuk mewujudkannya. Bila dilihat dari jumlah penduduk, maka jumlah perempuan di Aceh saat ini lebah banyak dari kaum lelaki.

Karenanya sebagai silent majority beri kesempatan dan ketrampilan kepada perempuan agar dapat meningkatkan harkat dirinya. "Sudah cukuplah cerita penderitaan Tenaga Kerja Wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri. Kondisi yang dialami mereka tidak terlepas dari margjinalisasi dan subordinasi”. Pungkas Nyak Munah.

(Usman Cut Raja)

Post a Comment

Previous Post Next Post