Banda Aceh, newsataloen.com - - Pembelaan DPRK Banda Aceh dari fraksi PKS dan Nasdem terhadap setiap kritikan publik kepada Pj Walikota terkesan terlalu berlebihan dan cenderung lebay. Bahkan penyampaian aspirasi masyarakat dan mahasiswa melalui aksi unjuk rasa yang digelar 3 hari silam justru didramatisir hingga terkesan adanya upaya pembungkaman aspirasi publik. Sehingga hal itu berpotensi menghadirkan paradigma anti kritik dan cenderung mengarah kepada anti demokrasi yang diciptakan oleh Pemko Banda Aceh di bawah kepemimpinan Bakri Siddiq.
"Sungguh pernyataan ketua Nasdem Banda Aceh untuk meminta polisi memproses badan hukum buffer aksi merupakan hal yang tak logis dalam demokrasi, pasalnya sejak kapan bufer aksi unjuk rasa harus urus badan hukum dulu. Unjuk rasa 212 dan penggalangan masa SIRA pada 1999 lalu yang menghadirkan jutaan orang justru tak pernah ditanyakan badan hukum nya, sungguh ini bentuk kekonyolan seorang politis yang mengarah kepada pembungkaman demokrasi," ungkap koordinator Kaukus Pemuda Kota (KPK) Ikhwan Kartiawan kepada media, Kamis 10 November 2022.
Menurut Ikhwan, persoalan penyampaian hak setiap warga untuk menyampaikan pendapat atau kritikannya kepada pemerintah itu sudah diatur dalam pasal 28 UUD 1945, bahkan juga di dalam UU.
"Persoalan unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum juga dibenarkan dan telah termaktub secara jelas di dalam UU nomor 9 tahun 1998 bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikirandengan lisan, tulisan, dan sebagainya. Lalu, sejak kapan aksi unjuk rasa dilarang jika tak berbadan hukum, ini jelas-jelas bentuk pembungkaman demokrasi," tegasnya.
Pihaknya juga menyesalkan pernyataan ketua komisi III DPRK Banda Aceh Irwansyah dari PKS yang terkesan mempelintir persoalan yang disampaikan massa unjuk rasa senin 7 november 2022 lalu. "Kenapa ketika ada yang menyuarakan kepentingan publik justru harus dipelintir kesana kemari, bilang itu isu elitis, politis dan eklusif. Kenapa anggota dewan PKS yang katanya mantan aktivis itu malah menjadi pembela pemerintah dan mengabaikan suara rakyatnya, jelas-jelas ini menunjukkan bahwa wakil rakyat yang semestinya menjadi penyambung lidah rakyat, malah membungkam hak demokrasi rakyat hanya untuk menjaga penjabat walikota, ini sungguh sangat disayangkan,"katanya.
Dia menambahkan, logika anggota DPRK dari PKS yang menyebutkan isu yang diangkat sebagai isu elitis atau eklusif patut dipertanyakan. "Apakah isu inflasi, penegakan syariat islam, PAD, pembangunan sarana ibadah dan program kerakyatan yang diangkat dalam unjuk rasa itu disebut elitis dan eklusif? Itu jelas persoalan rakyat yang selama ini mungkin dilupakan oleh dewan tersebut. Presiden perintahkan Pj Kepala Daerah tekan inflasi dibawah 5%, sementara Banda Aceh saat ini tingkat inflasi tahun kelendernya 5,22%, kemudian sejumlah sarana ibadah belum dibangun dan program kerakyatan belum jalan padahal sudah memasuki bulan november, dan sejumlah persoalan lainnya bukankah itu semua persoalan rakyat. Rugikan jika mengatakan diri mantan aktivis, ketika jadi DPRK malah sibuk membela dan menyanjung pemerintah," ujarnya mengaku kecewa dengan sikap wakil rakyat tersebut.
Dia membeberkan, publik juga tau selama ini ketua Nasdem yang juga ketua komisi II DPRK dan ketua komisi III DPRK Banda Aceh selama ini hanya bisa membela dan mengapresiasi Pj Walikota, sehingga cenderung mengabaikan fakta objektif yang terjadi. Namun ironisnya ketika ada suara kritis malah hal itu dibungkam, dipelintir dan sebagainya. "Logikanya, ketua komisi III DPRK Banda Aceh Irwansyah pernah mengapresiasi Pj Walikota dalam penegakan syariat islam pasca kejadian kumpul kebo atau pesta ria 11 perempuan di Ulee Lheu hingga dini hari, padahal 11 wanita itu akhirnya dilepaskan begitu saja. Namun, setelah dilepaskan DPRK dari PKS itu malah lupa tugas pengawasannya untuk mempertanyakan penegakan syariat islam terhadap 11 wanita itu, ini fakta lho,"jelasnya.
- _Pertanyakan Hubungan Khusus Pj Walikota dengan Fraksi Nasdem dan PKS di DPRK?_
KPK juga menilai dari sikap selalu membela dan sibuk mengapresiasi Pj Walikota hingga bahkan cendernung mengkritik dan membungkam suara kritis serta tak berjalannya tupoksi wakil rakyat dari partai tersebut dalam hal pengawasan terhadap Pj Walikita mengisyaratkan adanya hubungan khusus bahkan hubungan spesial para wakil rakyat dari fraksi tersebut dengan Pj Walikota Banda Aceh. "Masyarakat kan perlu tau, ada hubungan khusus apa kedua fraksi di DPRK itu dengan Pj Walikota? Pasalnya Pj Walikota itu ditunjuk mendagri dan sah-sah saja jika diberhentikan oleh Mendagri. Pj Walikota bukan pejabat yang dipilih oleh rakyat dan didukung partai tertentu, jadi kenapa seakan-akan ada dominasi partai tertentu dalam kebijakan Pj Walikota, tentunya jadi pertanyaan apakah memang Pj Walikota memang sosok yang dititip kedua partai ini ke Mendagri, hal ini perlu diperjelas kepada publik," katanya.
Jika bicara hubungan kemitraan legislatif dan eksekutif maka pembelaan hingga pembungkaman kritikan tidak bakal dilakukan sedemikian rupa. Bahkan DPRK dalam hal tupoksinya tentu akan lebih kritis dalam menjalankan fungsi pengawasan."Mungkinkah isu yang menyebutkan bahwa fraksi PKS dan Nasdem di DPRK merupakan tulang punggung kepemimpinan Pj Walikota hingga mendominasi kebijakan-kebijakan sang Pj Walikota benar adanya,"lanjutnya.
Selain itu, menurutnya, sikap netral seorang penjabat kepala daerah merupakan salah satu hal yang diamanahkan mendagri. "Pj Walikota Banda Aceh jangan sampai memiliki hubungan spesial dengan partai tertentu apalagi terkontaminasi dengan kepentingan politik 2024. Kita ingat Pj Walikota Banda Aceh untuk menjaga netralitasnya sebagaimana amanah mendagri," tegasnya.
Post a Comment