Sejumlah Daerah Di Aceh Alami Defisit, Itu Hal Biasa Dalam Pemerintahan dan Tak Perlu Terus Dipolitisir Terus Menerus


Muhammad Jasdi






Banda Aceh, newsataloen.com - - Persoalan defisit anggaran yang selama ini digadang-gadangkan ternyata tidak hanya dialami oleh Pemko Banda Aceh saja. Sejumlah daerah di Aceh seperti Sabang, Langsa, Aceh Utara dan sejumlah daerah lainnya juga mengalami hal sama, hanya saja tidak terlalu dipolitisir dan dibesar-besarkan seperti Banda Aceh.

"Sebagaimana yang disampaikan langsung oleh Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA) bahwa defisit dalam pemerintahan sebenarnya bukan persoalan fatal dan dapat ditutupi dengan pendanaan di luar pendapatan lain misalnya SILPA, pinjaman atau dengan menjual investasi. Jadi, disini dapat kita lihat bahwa selama ini daerah yang selalu digadang-gadangkan dengan isu defisit seakan-akan hanya Banda Aceh, padahal sejumlah daerah lain juga sama. Sehingga jelas terlihat isu defisit yang selalu disenandungkan sejumlah elit di Banda Aceh tak lebih dari mainan politik yang empuk dalam rangka menuju perhelatan 2024," ungkap ketua Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) kepada media Minggu 23 Oktober 2022.

Menurutnya, hal yang perlu diperjelas ke publik bahwa daerah itu difisit itu biasanya kelebihan dalam penyusunan program sementara pendapatan tidak tercapai. Sehingga ada kegiatan tidak terbayarkan pada tahun anggaran berjalan.

"Kenapa program kelebihan dikarenakan kepala daerah terlalu bersemangat membuat program untuk masyarakat dan DPRK juga begitu semangat dalam menyerap aspirasinya. Namun, jika masih pada tahun anggaran berjalan maka hal yang mesti dilakukan bagaimana pendapatan daerah dapat ditingkatkan untuk menutupi kebutuhan belanja," jelasnya.

Hal yang perlu dicatat utang daerah itu bukan uang daerah yang di korupsi atau dipinjam kan oleh pribadi atau kelompok tertentu. "Utang daerah itu tinggal dianggarkam dalam APBK selanjutnya. Jadi perlu diperjelas agar masyarakat tidak dikelabui oleh isu politis, bahwa jangan dianggap utang itu uang daerah yang hilang," paparnya.

Persoalan defisit yang dialami sejumlah daerah juga merupakan implikasi dari kondisi PAD yang menurun karena selama 3 tahun dihadapkan dengan musibah Covid-19, yang berdampak kepada tidak sesuainya target PAD dengan belanja daerah yang diproyeksikan.  "Jadi, hal ini masih sangat wajar tentunya. Hal yang tidak wajar adalah jika persoalan defisit terus menerus dijadikan komoditi politik oleh sejumlah elit tertentu sebagai opini mengelabui publik,"bebernya.

Pria yang akhmrab disapa Jhon Jasdi itu menilai, khusus daerah seperti Banda Aceh, persoalan defisit yang digoreng dan digadang-gadangkan tak lebih karena adanya pihak yang mempolitisir dan membodohi masyarakat pada hal tidak ada atururan yang melarang, apalagi dalam menghadapi situasi covid-19.  "Bahkan Menteri Keuangan memberikan prbghargaan yang diserahkan kepada Pj Walikota Banda Aceh karena meraih WTP sebanyak 14 kali berturut turut, begitupun dengan hasil audit BPK yang menunjukkan situasi keuangan Banda Aceh masih dalam kondisi wajar, karena utang dan defisit yang terjadi semasa Covid-19 bukanlah persoalan yang kritis, karena dunia memang dilanda bencana besar dan dampaknya kepada penurunan pendapatan asli daerah. Hal ini menguatkan bahwa opini utang dan defisit yang selama ini adalah sesuatu yang tak patut, apalagi mencari kambing hitam untuk disalahkan. Ini jelas-jelas tercium aroma kepentingan politik tertentu," tambahnya.

Di sejumlah daerah, seperti Aceh Jaya misalkan, upaya Pemkab dalam menangani keterbatasan anggaran daerah salah satunya dengan menyesuaikan kembali TPP ASN dan bukan memangkas program kerakyatan, ini bagian kebijaksanaan yang lumayan bagus. "TPP ASN ini secara aturan mengacu pada ketersediaan anggaran daerah, dan jika daerah mengalami keterbatasan anggaran, TPP ini bisa disesuaikan misalkan dibayar sekian bulan saja atau besarannya disesuaikan kembali dan seterusnya. Karena yang menjadi kewajiban pemerintah itu adalah gaji dan tunjangan bukan TPP, sementara TPP itu dibayarkan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah,"paparnya.

Di sisi lain, kata Jhon Jasdi, salah satu persoalan jika dilakukan rasionalisasi penghematan dengan dalih mengatasi persoalan defisit adalah kemampuan pemimpin daerah dalam memperhatikan kegiatan atau program kerakyatan. "Jika perlu dilakukan rasionalisasi maka penghematan yang dilakukan harus benar-benar memperhatikan program kerakyatan. Jangan sampai, program yang tak menyentuh rakyat dipertahankan atau bahkan mirisnya ditambah seperti rutin dan sebagainya, sementara program kerakyatan malah dipangkas, ini akan jadi polemik baru yang akan membuat masyarakat akan kecewa kepada pemerintah daerah terkait," ujarnya.

Jadi, intinya jangan sampai alasannya defisit sementara program tak berguna dan bermanfaat ditambah atau dibiarkan sementara program kerakyatan dipangkas. "Hal yang sangat keliru bahkan bisa dikatakan kepala daerah terkait tersesat dijalan yang terang jika dengan dalih defisit justru malah jadi alasan untuk memangkas program yang bermanfaat bagi masyarakat dan memprioritaskan yang tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Jika itu terjadi kepala daerahnya perlu diruqiyah sehingga tidak terus menerus dirasuki untuk merugikan rakyatnya," tegasnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post