nasional
Opini: Dewan Pers Harus Mencabut Fatwa Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Yang Sesat
Jacob EresteKeenggan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana dari Dewan Pers membuktikan bahwa sengkarut masalah Pers di Indonesia benar tidak saja mengalami masalah dari luar semata, tapi juga berasal dari dalam lingkungan pers itu sendiri, mulai dari organisasi pers dan Dewan Pers dan insan pers.
Setidaknya pernyataan Yadi Hendriana yang menduduki jabatan penting di Dewan Pers, justru tak hanya membuat blunder yang memalukan untuk takaran kualitas Dewan Pers itu sendiri, tetapi juga justru menunjukkan kepongahannya dengan tidak segera mencabut -- kalau pun masih malu untuk meminta maaf -- atas keculasannya yang mengharuskan agar awak media hanya membuat berita yang bersumber dari keterangan resmi pihak kepolisian dan Mabes Polri, terkait dengan masalah "Polisi Menembak Polisi" yang menyedot perhatian publik di seantero jagat.
Harapan terhadap sikap ugahari Yadi Hendriana untuk mencabut pemberitaan itu -- selaku jurnalis senior, setidaknya karena telah menduduki posisi yang gagah di Dewan Pers, amat sangat diharap hendak dicabut -- secara terbuka dan gentel supaya kesan sikap hipokrit -- kalau tak elok disebut kedunguan itu menular kepada jurnalis muda kita yang belum cukup imun terhadap penyakit serupa itu.
Kesan hipokrit dari pernyataan Yadi Hendriana sebagai pejabat paling bergengsi di Dewan Pers itu mengingatkan pada catatan penting Wartawan Senior Muchtar Lubis dahulu yang jijik terhadap para penjual yang selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mencari keuntungan.
Inilah inti dari keberatan saya agar pernyataan Yadi Hendriana itu dapat segera diklarifikasikan dengan baik, dengan cara yang santun dan elegan mau memaparkan "Ajakan Yadi Hendriana Selaku Ketua Dewan Pers yang justru membawahi bidang yang sangat vital, yaitu Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers di institusi yang sangat terhormat itu, sebagai kekeliruan dan memohon maaf. Adapun sikap keberatan agar pernyataan itu dapat segera dianulir, supaya tidak menjadi preseden buruk bagi insan pers dalam melakukan tugas dan fungsinya yang sangat mulia untuk memberi informasi yang luas dan lengkap serta cukup berimbang dari berbagai nara sumber yang dianggap penting dan perlu guna akuraritas dari pemberitaan yang hendak disajikan kepada publik. Termasuk ceck and receck pada berbagai pihak.
Hingga nyaris sampai sepekan pernyataan itu masih juga tidak digubris atau diralat, sehingga kesan yang muncul adalah kepongahan, keangkuhan yang justru tidak punya Etika. Hingga muncul ulasan yang lebih kuat menonjok dari Saudara Muslim yang telak menghardik (Baca RMOL, 2022/07/17) tentang Perlindungan Kemerdekaan Pers yang menjadi beban berat Ketua Dewan Pers, Prof. Azyumardi Azra yang baru seumur jagung menduduki posisinya sebagai Ketua Dewan Pers. Begitulah masalah internal yang harus dihadapi pula oleh organisasi pers masalah internal di Dewan Pers yang perlu segera ditetapkan juga. Seandainya tidak cukup etis untuk menyingkirkan mereka yang menjadi benalu atau penghalang langkah maju Dewan Pers yang diganti banyak oleh insan pers di tanah air.
Setidaknya dalam ulasan Muslim itu jelas dan terang menyebut adanya masalah internal Dewan Pers yang telah mengeluarkan fatwa liar yang keliru, karena menyerukan kepada wartawan agar hanya menyiarkan berita terkait kasus "Polisi Menembak Polisi" hanya dari sumber resmi. Fatwa yang dimaksudkan oleh Muslim adalah pernyataan Yadi Hendriana culas mengatakan juga terkesan dungu, karena informasi resmi dari pihak Kepolisian yang digugat oleh masyarakat justru keseimbangan pada sumber berita. "Ini jelas ngawur dan blunder", kata Muslim dalam pemaparannya itu. Karena dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik tidak ada pasal yang membenarkan fatwa yang ngaco itu. Malahan UU Pers menyediakan ancaman hukuman bagi pihak yang menghalang-halangi Pers, tindak penyebaran apalagi pembredelan semacam yang pernah menjadi mode pada jaman Orde Baru. Meski tidak juga ada klarifikasi atau ralat terhadap pernyataan culas Yadi Hendriana itu, namun Ketua Dewan Pers langsung membuat joint statemen dengan Ketua DK- PWI, kata Muslim. Isinya justru mendorong seluruh wartawan melakukan investasi reporting untuk meningkatkan fakta peristiwa dan duduk perkara kasus yang menjadi sorotan masyarakat saat ini. Meski Dewan Pers pun tidak melakukan klarifikasi atas fatwa pengurusnya yang culas itu.
Menurut Muslim, fatwa yang dibuat Yadi Hendriana itu lupa pada sikap Kapolri sendiri yang pernah membuka akses untuk pihak di luar institusinya untuk menyelidiki tuntas kasus "Polisi Menembak Polisi" yang telah mencederai citra Polisi yang juga merupakan citra dari lembaga negara ini. Pembiaran dari Dewan Pers sendiri terhadap pernyataan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers justru tidak segera pula diralat atau dicabut pada konferensi pers Dewan Pers.
Sebab pernyataan konyol itu akan membuat citra Dewan Pers Tidak bagus. Karena pernyataan itu akan menjadi dokumen pembanding, bahkan bisa disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengintimidasi insan pers yang dominan berada di daerah. Karena sikap membebek seperti itu, tidak boleh menjadi watak insan pers Indonesia yang teguh dan taat pada Pancasila dan UUD 1945. Terutama pada mukadimah dari sumber hukum bagi bangsa dan negara Indonesia.
Penulis: Jacob Ereste
Via
nasional
Post a Comment