Berita Daerah
Beratnya Perjuangan Santri Al-Anshar Kala Hadapi AN
Aceh Jaya, newsataloen.com-Kisah heroik dibalik kisah-kisah santri memang tak pernah habisnya, seperti halnya tetesan hujan yang selalu dirindukan oleh tanah yang gersang.
Siang itu, senyum sumringah keluar begitu saja dari setiap wajah yang kami temui, Rikar sedang memberi aba-aba untuk para santri, “ Mana senyum manisnya? Hitungan ketiga kita ambil fotonya ya!”, Ia memberi arahan sambil membenarkan posisi duduk para santri agar angle fotonya bagus.
Bu Afrida nampak mengatur langkahnya sedemikian cepat, melewati deratan bunga, sampai ia masuk ke ruangan kantornya, Saya tak menyianyiakan kesempatan ini, peralatan rekaman seperti hp, kamera, perekam suara, dan tripod, langsung saya gotong memenuhi kedua tangan, sampai di pintu saya mengetuk kantor Bu Afrida.
"Assalamualaikum, Bu Afrida minta izin waktunya sebentar, saya furqan dari ACT Aceh, saya sangat yakin, dibalik kecerian para santri dan guru tadi, pasti sebelumnya menyimpan banyak sekali kisah yang seharusnya saya dan semua orang harus tahu”, Kata saya kepada Bu Afrida.
Wajahnya mulai berubah, matanya begitu berbinar-binar, perasaan haru dan senang mungkin sedang bercampur aduk di persedekian detik itu, saya dipersilahkan untuk mendengar kisah perjuangan para santri Al-Ashar.
Ia memulai pembicaraan, “Saya sebelumnya sangat berterima kasih kepada ACT yang telah datang membawa kabar gembira ini,"kata Bu Afrida.
Sekilas mengingat perjuangan para santri dan guru membuatnya sedih, “Bisa dibayangkan dari dulunya UN ( Ujian Nasional) sampai sekarang AN (Asesmen Nasional) kami harus menggunakan becak untuk membawa para santri ke sekolah terdekat yang memiliki komputer”, kata Bu Afrida.
Becak yang digunakan pun bukan becak yang dipakai untuk mengantar manusia seperti yang digunakan diperkotaan, tetapi becak yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dan juga terkadang untuk mengangkut rumput ternak, satu becak mengangkut 12-15 orang.
“Santri duduk dibecak dengan berdesakan, bukannya kita tidak mau mencari becak yang banyak, supaya bisa duduk dengan sedikit nyaman tetapi disiniuntuk mencari becak sedikit sulit, itupun becak yang ada sudah kita pesan (booking) jauh-jauh hari”,ujarnya.
Karena harus menumpang di sekolah orang sudah tentunya santri harus menunggu antrian sampai sekolah mereka tiba. Jika sekolah lain AN-nya dimulai di waktu pagi, maka santri Al-Anshar memulai ujian di siang hari sampai jam 18.00 wib. Tetapi ini tidak menyurutkan semangat para guru dan santri. Dibanding mereka yang tidak sekolah, mereka berfikir sangat bersyukur bisa sekolah.
Para santri sebelum mengikuti ujian, akan dilatih dulu oleh para guru disini, dimulai dari pengenalan komputer sampai cara pengoperasian komputer. Setidaknya 1 minggu sebelum ujian dilaksanakan para guru akan membawa laptop atau meminjam pada siapa saja agar bisa mengajari para santri.
Tetap saja, tidak semua santri mampu mengoperasikan komputer dengan baik, dari cerita Bu Afrida, pernah ada kejadian yang sangat menyedihkan.
“Waktu itu, salah satu operator sekolah berkeliling disekitar para santri yang sedang mengikuti ujian, tiba-tiba ia kaget lalu ia berkata ke pada Bu Afrida bahwa ada santri yang belum mengisi form data diri”, Cerita Bu Afrida sambal mengingat-ngingat kembali kejadian yang sempat membuatnya kalang kabut pada waktu itu.
"Saya jadi kaget, lalu saya bertanya, kenapa belum diisi nak? Apa kendalanya? Rupanya ia tidak bisa mengoperasikan komputer dan malu bertanya,tambah Bu Afrida dengan nada lirih.
Kondisi minimnya perlengkapan belajar di Pesantren Al-anshar ini tidak lepas dari minimnya kemampuan finansial pesantren untuk mewujudkan itu semua. Untuk menfasilitasi biaya makan puluhan anak yatim saja sudah sangat berat apalagi harus menyediakan perangkat komputer yang pastinya membutuhkan dana yang sangat besar.
Jika harus membebankan pada santri itu jelas tidak mungkin, karena memang dari awal pesantren ini didirikan untuk kalangan yang sulit mengakses pendidikan. (rls/rj).
Via
Berita Daerah
Post a Comment